1. TEORI KESEIMBANGAN SIKAP
Teori
keseimbangan berkaitan dengan cara seseorang menata sikap terhadap orang atau
benda dalam hubungannya satu sama lain di dalam struktur kognitifnya sendiri.
Sebagian besar penulis biasanya memuji Fritz Heider (1946) dengan pernyataan
pertamanya tentang teori konsistensi, meskipun konsep infomal itu dapat di
telusuri kembali pada karya sebelumnya (lihat Keisler, Collins dan Miller,
1969). Sebagai seorang psikolog Heider peduli terhadap cara seseorang menata
sikap terhadap orang dan benda dalam hubungannya satu sama lain di dalam
struktur kognitifnya sendiri. Heider (1958) mengemukakan bahwa keadaan yang
tidak seimbang menimbulkan ketegangan dan membangkitkan tekanan tekanan untuk
memulihkan keseimbangan. Dia mengatakan bahwa "Konsep Keadaan Seimbang
Menunjukan Sebuah Situasi Yang di dalamnya Unit-unit Yang Ada Dan
Sentimen-sentimen Yang Di Alami "Hidup" berdapingan tanpa
tekanan".
Paradigma
Heider berfokus pada dua individu, seseorang (P), Objek analisis dan beberapa
orang lain (O), dan objek fisik , gagasan, atau peristiwa (X). Fokus Heider
adalah pada bagaimana hubungan diantara ketiga Entitas ini di organisasikan
dalam benak seseorang (P). Heider memebedakan dua jenis hubungan di antara Ketiga
Entitas ini, hubungan kesukaan (L) dan hubungan Unit (U). Dalam paradigma
Heider, "Keadaan Seimbang Hadir Apabila Hubungan Ketiganya Positif Dalam
Segala Hal Atau Apabila 2 Negatif dan 1 Positif". Semua Kombinasi lain
adalah tidak seimbang.
Dalam
konsep Heider, tingkat kesukaan tidak bisa diartikan kembali pada sebuah
hubungan bisa positif atau negatif. diasumsikan bahwa sebuah keadaan seimbang
adalah stabil dan menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Keadaan tidak seimbang
di asumsikan tidak stabil dan menciptakan ketegangan psikkologis dalam diri
seseorang. Ketegangan ini "Mereda Hanya Apabila Perubahan didalam Situasi
Tersebut Terjadi Sedemikian Rupa Sehingga Tercapai Keadaan Seimbang". Hal
ini menentukan secara tepat ketertarikan komunikator pada teori tersebut karena
dia menunjukan sebuah model perubahaan sikap dan penolakan terhadap sikap.
Keadaan Yang tidak seimbang, sebagai keadaan yang tidak stabil, rentan untuk
berubah menjadi seimbang. Keadaan seimbang, sebagai keadaan stabil, menolak
keadaan.
2.
TEORI
KONSISTENSI (KOGNITIF DAN AFEKTIF)
Teori
konsistensi afektif-kognitif, secara umum berhubungan dengan namaRosenbergdan
Abelson. Teori ini mengkonsentrasikan pada apa yang terjadi dalam diri individu
dalam kaitannya dengan komponen-komponen afektif dan kognitif. Komponen afektif
mengacu pada hal-hal yang dirasakan. Oleh karena itu, manakala kita berbicara
tentang komponen kognitif; maka yang kita kaji adalah hal-hal yang berkaitan
dengan objek sikap dan kaitan antara objek sikap tersebut dengan nilai-nilai
yang dianut oleh seseorang. Isi teori ini menyatakan bahwa sikap berhubungan
dengan nilai-nilai sentral, dan memberikan kerangka untuk menjelaskan korelasi
antara sifat dasar dan kekuatan perasaan yang berkaitan dengan objek sikap di
satu sisi, dan di sisi lain, dengan kepercayaan dan persepsi. (Applebaum dan
Anatol, 1974). Dengan kata lain,Rosenbergmemfokuskan perhatiannya pada aspek
yang terjadi dalam diri individu pada saat terjadi perubahan sikap.
Rosenberg(Applebaum
dan Anatol, 1974) mengemukakan hipotesisnya bahwa hakikat dan kekuatan perasaan
seseorang terhadap suatu objek sikap berhubungan dengan pengertian mengenai
objek sikap tersebut.Rosenbergmempertegas hipotesis tersebut bahwa aspek afeksi
positif yang kuat dan stabil terhadap suatu objek sikap tertentu, berhubungan
dengan keyakinan akan tercapainya sejumlah nilai yang penting. Sebaliknya aspek
afektif negative berhubungan dengan keyakinan bahwa hal itu akan menjadi
rintangan untuk mencapai nilai-nilai yang penting.
Kaitan
antara komponen kognitif dan afektif, olehRosenbergdijelaskan sebagai berikut,
bahwa apabila antara komponen kognitif dan komponen afektif bersifat konsisten
satu sama lainnya, maka sikap seseorang akan berada dalam kondisi yang stabil.
Sebaliknya, jika menunjukkan ketidakkonsistenan, maka sikap seseorang berada
dalam kondisi tidak stabil. Kondisi tidak stabil akan membawa pada aktivitas
reorganisasi yang spontan menuju pada kondisi tercapainyakonsistensi
afektif-kognitif, atau menempatkan inkonsistensi yang tidak terselesaikan
tersebut diluar batas kesadaran aktif. (Applebaum dan Anatol, 1974)
Hubungan
antara sikap dan nilai-nilai merupakan aspek yang sangat penting sebagai target
dalam komunikasi persuasif. Hal ini sebagaimana telah dibuktikan oleh Carlson
(1956) melalui penelitiannya tentang hubungan antara sikap dan nilai serta
potensinya sebagai target persuasi. Manipulasi eksperimen yang dilakukannya
mencoba menunjukkan peragaan bahwa orang kulit hitam membolehkan tetangganya
yang kulit putih untuk menggunakan fasilitasnya dengan empat nilai: Prestise
Amerika di Negara lain, perlindungan terhadap nilai-nilai yang dimiliki,
kesempatan yang sama dalam pengembangan pribadi, serta kebijaksanaan dalam
pengalaman, orientasi ke luar negeri dan bersifat mendunia.
Hasil penelitian tersebut mendukung pemikiran
tersebut. Pendek kata, usaha-usaha persuasive dalam menghubungkan sikap dengan
nilai dapat digantikan dalam menciptakan sikap baru (perubahan sikap), komponen
kognitif yang baru, dan afeksi yang berbeda. (Applebaum dan Anatol, 1974).
Jika
dikaitkan dengan dampak komunikasi persuasif, Cohen (1964) mengatakan bahwa
“Akan diterima oleh seseorang (atau paling tidak akan dilihat olehnya dengan
senang hati dan secara persuasive jika sikap itu tidak mengalami perubahan)
secara sedikit demi sedikit dimana mereka menolong utnuk mengubah
ketidakseimbangan kognitifnya. (Applebaum dan Anatol, 1974).
Pada
dasarnya, pendekatan konsistensi afektif-kognitif memfokuskan dirinya pada
konsistensi internal, dengan mengabaikan unsur perilaku dan faktor-faktor
lainnya yang melengkapi atau menghalangi perubahan sikap.
3. TEORI DISONANSI KOGNITIF
Teori
Disonansi (Festinger, 1957; Brehm dan Cohen, 1962; Aronson, 1968) membahas
tentang ketidakkonsistenan secara psikologis menegenai apa yang diketahui
seseorang dan bagaimana mereka bertindak, serta bagaimana mereka memperlakukan
ketidakonsistenan tersebut.
Kondisi
Disonansi Kognitif, menurut Mar’at (1982) adalah “Keadaan dimana terdapat
ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha
untuk mencapai keseimbangan kembali”. Disonansi berarti “tidak seimbang”,
sedangkan “konsonan” berarti “seimbang”. Disonansi disebabkan oleh adanya dua
unsur kognisi yang saling tidak sesuai.
Unsur-unsur
kognisi menurut Festinger (1957) adalah pengetahuan, pendapat atau kepercayaan
terhadap lingkungan, tentang diri atau perilaku seseorang. Berhm dan Cohen
(1962) mengatakan bahwa “pengetahuan berkaitan dengan perasaan, perilaku dan
pendapat, seperti pengetahuan tentang penempatan obyek-obyek yang tepat,
bagaimana cara memperolehnya, apakah orang lain mempercayainya, dan seterusnya,
yang merupakan contoh unsur kognitif”. Dengan demikian, unsur-unsur kognisi tersebut
meliputi: pengetahuan, pendapat dan keyakinan. Oleh karena itu, apabila pada
diri seseorang terdapat ketidaksesuaian pada unsur kognitifnya, maka orang
tersebut berada dalam ketegangan, sehingga terjadi ketidakseimbangan di dalam
dirinya (Mar’at, 1982).
Mar’at
(1982) menjelaskan bahwa konsep dasar Teori Disonansi Kognitif adalah “Terdapat
variabel unsur kognitif, terapan, besarnya ketidakseimbangan dan tanggungjawab
dari diri seseorang”. Dengan demikian, ketidakseimbangan pada diri seseorang
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah unsur kognitif yang seimbang dan
tidak seimbang, dimana kedua hal tersebut sama pentingnya. Barangkali ilustrasi
berikut dapat memperjelas konsep tersebut. Seorang ibu rumah tangga yang juga
merupakan seorang mahasiswi memiliki pemikiran untuk menjadi mahasiswi yang
berprestasi. Namun, hal ini akan membawa dampak, dimana tugas rumah tangganya
harus dikorbankan. Di sisi lain, ia pun ingin menjadi ibu rumah tangga yang
baik. Namun, jika hal tersebut dilakukan, sebagai mahasiswi ia tidak akan
berprestasi. Dalam kondisi demikian, ia akan dihadapkan pada tanggung jawab
sebagai mahasiswi dan sebagai ibu rumah tangga. Kedua tanggung jawab tersebut
sama besarnya dan sama pentingnya. Situasi demikian, mengakibatkan adanya
ketegangan dalam diri orang tersebut, dan hal ini menimbulkan ketidakseimbangan
(Mar’at, 1982).
Untuk
menyelesaikan suatu konflik, harus dititikberatkan pada penyesuaian diri secara
kognitif (cognitive adjustment). Melalui penyesuaian diri ini, akan terjadi
keseimbangan kembali. Jika keseimbangan ini telah tercapai, maka berarti adanya
perubahan sikap (Mar’at 1982).
Applebaum
dan Anatol (1974) menjelaskan bahwa pemberian hadiah atau perlakuan hukuman
dapat mengurangi disonansi oleh kesediaan individu untuk berubah dengan
mendapatkan konsistensi.
Menurut
Simons (1976) terdapat tiga diskrepansi/ketidaksesuaian yang dapat menyebabkan
disonansi kognitif, yakni diskrepansi sikap-perilaku, ketidaksesuaian proposisi
sumber, dan ketidaksesuaian komponen sikap.
4. TEORI ATRIBUSI
Teori atribusi adalah bagaimana kita
membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita
merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan
mengapa mereka berperilaku seperti itu.
Dalam buku Handbook of Human
Resource Management Practice oleh Michael Armstrong pada tahun 2009, Heider
(1958) berpendapat bahwa, “dalam kehidupan sehari-hari kita membentuk ide
tentang orang lain dan tentang situasi sosial. Kita menginterpretasikan perilaku
orang lain dan memprediksikan apa yang akan mereka lakukan apabila menghadapi
sebuah situasi tertentu”
Penyebab seseorang memberikan
atribusi kepada perilaku seseorang dapat dibedakan antara kekuatan seseorang
untuk mencapai sesuatu dan efek dari pengaruh lingkungan. Kelley (1967)
mendeskripsikan 4 kriteria yang kita gunakan untuk memutuskan apakah perilaku
tersebut dapat diberikan atribut kepada seseorang bukan berasal dari penyebab
eksternal (situasional) :
- Distinctiveness – perilaku dapat dibedakan dari perilaku orang lain saat menghadapi situasi yang sama
- Consensus – jika orang lain setuju bahwa perilaku diatur oleh beberapa karakteristik personal
- Consistency over time – apakah perilaku diulang
- Consistency over modality (cara dimana perilaku itu dilakukan) – apakah perilaku diulang pada situasi yang berbeda
Itulah beberapa cara dimana kita merasa dan membuat
keputusan tentang seseorang, misalnya di bagaimana seseorang di lingkungan
kerja.
Teori atribusi juga menekankan pada cara dimana seseorang
berhasil melakukan atribusi atau gagal terhadap dirinya sendiri. Penelitian
yang dilakukan oleh Weiner (1974) dan yang lain telah mengindikasikan bahwa
ketika seseorang dengan kebutuhan akan achievement yang tinggi telah sukses,
mereka mengangggap bahwa keberhasilan ini berasal dari faktor internal yaitu
usaha dan kemampuan.
Orang dengan need of achievement yang tinggi akan cenderung
menganggap kegagalan sebagai tindakan yang kurang usaha bukan karena tidak
mampu. Sedangkan orang dengan need of achievement rendah akan menganggap
kegagalan sebagai ketidak mampuan bukan karena kurang usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar