Rabu, 01 April 2015

Teori Sikap Akuntansi Keprilakuan



1.      TEORI KESEIMBANGAN SIKAP

Teori keseimbangan berkaitan dengan cara seseorang menata sikap terhadap orang atau benda dalam hubungannya satu sama lain di dalam struktur kognitifnya sendiri. Sebagian besar penulis biasanya memuji Fritz Heider (1946) dengan pernyataan pertamanya tentang teori konsistensi, meskipun konsep infomal itu dapat di telusuri kembali pada karya sebelumnya (lihat Keisler, Collins dan Miller, 1969). Sebagai seorang psikolog Heider peduli terhadap cara seseorang menata sikap terhadap orang dan benda dalam hubungannya satu sama lain di dalam struktur kognitifnya sendiri. Heider (1958) mengemukakan bahwa keadaan yang tidak seimbang menimbulkan ketegangan dan membangkitkan tekanan tekanan untuk memulihkan keseimbangan. Dia mengatakan bahwa "Konsep Keadaan Seimbang Menunjukan Sebuah Situasi Yang di dalamnya Unit-unit Yang Ada Dan Sentimen-sentimen Yang Di Alami "Hidup" berdapingan tanpa tekanan".

Paradigma Heider berfokus pada dua individu, seseorang (P), Objek analisis dan beberapa orang lain (O), dan objek fisik , gagasan, atau peristiwa (X). Fokus Heider adalah pada bagaimana hubungan diantara ketiga Entitas ini di organisasikan dalam benak seseorang (P). Heider memebedakan dua jenis hubungan di antara Ketiga Entitas ini, hubungan kesukaan (L) dan hubungan Unit (U). Dalam paradigma Heider, "Keadaan Seimbang Hadir Apabila Hubungan Ketiganya Positif Dalam Segala Hal Atau Apabila 2 Negatif dan 1 Positif". Semua Kombinasi lain adalah tidak seimbang.

Dalam konsep Heider, tingkat kesukaan tidak bisa diartikan kembali pada sebuah hubungan bisa positif atau negatif. diasumsikan bahwa sebuah keadaan seimbang adalah stabil dan menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Keadaan tidak seimbang di asumsikan tidak stabil dan menciptakan ketegangan psikkologis dalam diri seseorang. Ketegangan ini "Mereda Hanya Apabila Perubahan didalam Situasi Tersebut Terjadi Sedemikian Rupa Sehingga Tercapai Keadaan Seimbang". Hal ini menentukan secara tepat ketertarikan komunikator pada teori tersebut karena dia menunjukan sebuah model perubahaan sikap dan penolakan terhadap sikap. Keadaan Yang tidak seimbang, sebagai keadaan yang tidak stabil, rentan untuk berubah menjadi seimbang. Keadaan seimbang, sebagai keadaan stabil, menolak keadaan.



2.      TEORI KONSISTENSI (KOGNITIF DAN AFEKTIF)

Teori konsistensi afektif-kognitif, secara umum berhubungan dengan namaRosenbergdan Abelson. Teori ini mengkonsentrasikan pada apa yang terjadi dalam diri individu dalam kaitannya dengan komponen-komponen afektif dan kognitif. Komponen afektif mengacu pada hal-hal yang dirasakan. Oleh karena itu, manakala kita berbicara tentang komponen kognitif; maka yang kita kaji adalah hal-hal yang berkaitan dengan objek sikap dan kaitan antara objek sikap tersebut dengan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang. Isi teori ini menyatakan bahwa sikap berhubungan dengan nilai-nilai sentral, dan memberikan kerangka untuk menjelaskan korelasi antara sifat dasar dan kekuatan perasaan yang berkaitan dengan objek sikap di satu sisi, dan di sisi lain, dengan kepercayaan dan persepsi. (Applebaum dan Anatol, 1974). Dengan kata lain,Rosenbergmemfokuskan perhatiannya pada aspek yang terjadi dalam diri individu pada saat terjadi perubahan sikap.

Rosenberg(Applebaum dan Anatol, 1974) mengemukakan hipotesisnya bahwa hakikat dan kekuatan perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap berhubungan dengan pengertian mengenai objek sikap tersebut.Rosenbergmempertegas hipotesis tersebut bahwa aspek afeksi positif yang kuat dan stabil terhadap suatu objek sikap tertentu, berhubungan dengan keyakinan akan tercapainya sejumlah nilai yang penting. Sebaliknya aspek afektif negative berhubungan dengan keyakinan bahwa hal itu  akan menjadi rintangan untuk mencapai nilai-nilai yang penting.

Kaitan antara komponen kognitif dan afektif, olehRosenbergdijelaskan sebagai berikut, bahwa apabila antara komponen kognitif dan komponen afektif bersifat konsisten satu sama lainnya, maka sikap seseorang akan berada dalam kondisi yang stabil. Sebaliknya, jika menunjukkan ketidakkonsistenan, maka sikap seseorang berada dalam kondisi tidak stabil. Kondisi tidak stabil akan membawa pada aktivitas reorganisasi yang spontan menuju pada kondisi tercapainyakonsistensi afektif-kognitif, atau menempatkan inkonsistensi yang tidak terselesaikan tersebut diluar batas kesadaran aktif. (Applebaum dan Anatol, 1974)

Hubungan antara sikap dan nilai-nilai merupakan aspek yang sangat penting sebagai target dalam komunikasi persuasif. Hal ini sebagaimana telah dibuktikan oleh Carlson (1956) melalui penelitiannya tentang hubungan antara sikap dan nilai serta potensinya sebagai target persuasi. Manipulasi eksperimen yang dilakukannya mencoba menunjukkan peragaan bahwa orang kulit hitam membolehkan tetangganya yang kulit putih untuk menggunakan fasilitasnya dengan empat nilai: Prestise Amerika di Negara lain, perlindungan terhadap nilai-nilai yang dimiliki, kesempatan yang sama dalam pengembangan pribadi, serta kebijaksanaan dalam pengalaman, orientasi ke luar negeri dan bersifat mendunia.

 Hasil penelitian tersebut mendukung pemikiran tersebut. Pendek kata, usaha-usaha persuasive dalam menghubungkan sikap dengan nilai dapat digantikan dalam menciptakan sikap baru (perubahan sikap), komponen kognitif yang baru, dan afeksi yang berbeda. (Applebaum dan Anatol, 1974).

Jika dikaitkan dengan dampak komunikasi persuasif, Cohen (1964) mengatakan bahwa “Akan diterima oleh seseorang (atau paling tidak akan dilihat olehnya dengan senang hati dan secara persuasive jika sikap itu tidak mengalami perubahan) secara sedikit demi sedikit dimana mereka menolong utnuk mengubah ketidakseimbangan kognitifnya. (Applebaum dan Anatol, 1974).
Pada dasarnya, pendekatan konsistensi afektif-kognitif memfokuskan dirinya pada konsistensi internal, dengan mengabaikan unsur perilaku dan faktor-faktor lainnya yang melengkapi atau menghalangi perubahan sikap.

3.      TEORI DISONANSI KOGNITIF

Teori Disonansi (Festinger, 1957; Brehm dan Cohen, 1962; Aronson, 1968) membahas tentang ketidakkonsistenan secara psikologis menegenai apa yang diketahui seseorang dan bagaimana mereka bertindak, serta bagaimana mereka memperlakukan ketidakonsistenan tersebut.

Kondisi Disonansi Kognitif, menurut Mar’at (1982) adalah “Keadaan dimana terdapat ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali”. Disonansi berarti “tidak seimbang”, sedangkan “konsonan” berarti “seimbang”. Disonansi disebabkan oleh adanya dua unsur kognisi yang saling tidak sesuai.

Unsur-unsur kognisi menurut Festinger (1957) adalah pengetahuan, pendapat atau kepercayaan terhadap lingkungan, tentang diri atau perilaku seseorang. Berhm dan Cohen (1962) mengatakan bahwa “pengetahuan berkaitan dengan perasaan, perilaku dan pendapat, seperti pengetahuan tentang penempatan obyek-obyek yang tepat, bagaimana cara memperolehnya, apakah orang lain mempercayainya, dan seterusnya, yang merupakan contoh unsur kognitif”. Dengan demikian, unsur-unsur kognisi tersebut meliputi: pengetahuan, pendapat dan keyakinan. Oleh karena itu, apabila pada diri seseorang terdapat ketidaksesuaian pada unsur kognitifnya, maka orang tersebut berada dalam ketegangan, sehingga terjadi ketidakseimbangan di dalam dirinya (Mar’at, 1982).

Mar’at (1982) menjelaskan bahwa konsep dasar Teori Disonansi Kognitif adalah “Terdapat variabel unsur kognitif, terapan, besarnya ketidakseimbangan dan tanggungjawab dari diri seseorang”. Dengan demikian, ketidakseimbangan pada diri seseorang dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah unsur kognitif yang seimbang dan tidak seimbang, dimana kedua hal tersebut sama pentingnya. Barangkali ilustrasi berikut dapat memperjelas konsep tersebut. Seorang ibu rumah tangga yang juga merupakan seorang mahasiswi memiliki pemikiran untuk menjadi mahasiswi yang berprestasi. Namun, hal ini akan membawa dampak, dimana tugas rumah tangganya harus dikorbankan. Di sisi lain, ia pun ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Namun, jika hal tersebut dilakukan, sebagai mahasiswi ia tidak akan berprestasi. Dalam kondisi demikian, ia akan dihadapkan pada tanggung jawab sebagai mahasiswi dan sebagai ibu rumah tangga. Kedua tanggung jawab tersebut sama besarnya dan sama pentingnya. Situasi demikian, mengakibatkan adanya ketegangan dalam diri orang tersebut, dan hal ini menimbulkan ketidakseimbangan (Mar’at, 1982).

Untuk menyelesaikan suatu konflik, harus dititikberatkan pada penyesuaian diri secara kognitif (cognitive adjustment). Melalui penyesuaian diri ini, akan terjadi keseimbangan kembali. Jika keseimbangan ini telah tercapai, maka berarti adanya perubahan sikap (Mar’at 1982).

Applebaum dan Anatol (1974) menjelaskan bahwa pemberian hadiah atau perlakuan hukuman dapat mengurangi disonansi oleh kesediaan individu untuk berubah dengan mendapatkan konsistensi.

Menurut Simons (1976) terdapat tiga diskrepansi/ketidaksesuaian yang dapat menyebabkan disonansi kognitif, yakni diskrepansi sikap-perilaku, ketidaksesuaian proposisi sumber, dan ketidaksesuaian komponen sikap.

4.      TEORI ATRIBUSI

Teori atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.

Dalam buku Handbook of Human Resource Management Practice oleh Michael Armstrong pada tahun 2009, Heider (1958) berpendapat bahwa, “dalam kehidupan sehari-hari kita membentuk ide tentang orang lain dan tentang situasi sosial. Kita menginterpretasikan perilaku orang lain dan memprediksikan apa yang akan mereka lakukan apabila menghadapi sebuah situasi tertentu”

Penyebab seseorang memberikan atribusi kepada perilaku seseorang dapat dibedakan antara kekuatan seseorang untuk mencapai sesuatu dan efek dari pengaruh lingkungan. Kelley (1967) mendeskripsikan 4 kriteria yang kita gunakan untuk memutuskan apakah perilaku tersebut dapat diberikan atribut kepada seseorang bukan berasal dari penyebab eksternal (situasional) :
  1. Distinctiveness – perilaku dapat dibedakan dari perilaku orang lain saat menghadapi situasi yang sama
  2. Consensus – jika orang lain setuju bahwa perilaku diatur oleh beberapa karakteristik personal
  3. Consistency over time – apakah perilaku diulang
  4. Consistency over modality (cara dimana perilaku itu dilakukan) – apakah perilaku diulang pada situasi yang berbeda
Itulah beberapa cara dimana kita merasa dan membuat keputusan tentang seseorang, misalnya di bagaimana seseorang di lingkungan kerja.
Teori atribusi juga menekankan pada cara dimana seseorang berhasil melakukan atribusi atau gagal terhadap dirinya sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Weiner (1974) dan yang lain telah mengindikasikan bahwa ketika seseorang dengan kebutuhan akan achievement yang tinggi telah sukses, mereka mengangggap bahwa keberhasilan ini berasal dari faktor internal yaitu usaha dan kemampuan.
Orang dengan need of achievement yang tinggi akan cenderung menganggap kegagalan sebagai tindakan yang kurang usaha bukan karena tidak mampu. Sedangkan orang dengan need of achievement rendah akan menganggap kegagalan sebagai ketidak mampuan bukan karena kurang usaha.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar